Mungkinkah Pak Profesor Lupa Ngopi

Eiiithhh.....ini memasuki zamannya adu logika dan akal sehat, dan sejak 2-3 tahun terakhir pemerintahannya hingga jelang pilpres dan pileg perang narasi cukup ramai di jagad maya. Jangan lupakan, perang jagad maya adalah nyata dan sangat berpengaruh terhadap eksistensi. Sebut saja medsos mengakomodir kehendak massa dalam menyambut reuni 212 yang telah mencapai rekor tertinggi kumpulan massa yang mungkin sulit tertandingi di manapu. Lebih kurang 10 jt an manusia berkumpul dengan situasi aman dan damai.

profesor dengan tampilan pidato

Masih hangat, pak profesor Mahfud MD yang terakhir sebagai staf ahli istana bidang pancasila di era Jokowi melontarkan seputar kemenangan paslon 02 di daerah Islam Garis Keras (IGK). Diantaranya Aceh, Sumatera Selatan, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan. Namun beliau lupa menyebut MADURA dimana Pak Profesor berasal. Bagi yang pernah ke Madura, minimal lewat jalan utama saja yang menghubungkan antara Bangkalan - Pamekasan - Sumenep, akan dijumpai aroma kawasan itu memang beraroma daerah santri yang cukup kental. Tak bisa dipungkiri, paslon_02 pun disini menang telak. Lihat paparan pak profesor di sebuah media dan dapat simak DISINI.

Bahkan warga sedang ramai ramainya memburu La Nyala yang katanya sebelum pencoblosan sanggup potong kepala jika paslon-02 menang di Madura. Tentu bukan terjadi begitu saja dengan Madura, hal itu karena sang Guru Besar dari pendiri ormas besar semacam NU, salah satunya berasal dari Madura (alm KH Kholil Bangkalan) yang kharismanya dianggap sebagai waliyulloh. Kenapa Pak Profesor tidak berani singgung dengan Madura, mungkinkah pak profesor lupa ngopi ? yang akhirnya dipilih judul tulisan ini yakni mungkinkah pak profesor lupa ngopi ?. 

Ngopi biasanya untuk memotivasi kinerja yang agak berlebih dan butuh tambahan energi agar nampak tegar, fit dan kuat dalam lemburan, misalnya.  Karena kelelahan, kurang kopi boleh jadi akan membuahkan komentar atau penilaian yang kurang segar/ fresh. Mungkinkah sang profesor kok kurang kopinya ?. Bagaimana tidak, selama ini penilaian dan tanggapan terhadap sebuah kasus atau peristiwa, cukup bisa jadi rujukan bahkan seringnya tampil di media nyata (TV) menjadikannya tokoh yang pantas menjadi narasumber. Akankah ini pertanda akan keroposnya nilai nilai akademik di kalangan intelektual di penghujung era Jokowi ?. 

Kami kira, Bung Rocky Gerung yang meskipun non muslim, sangat tidak mungkin berujar demikian. karena kemampuan untuk melihat realitas yang bebas dengan birokrat nampak lebih tajam.  Apapun perannya. Semoga, ke depan tidak perlu penilaian buru buru. yang penting realistis sajalah thd kenyataan di lapangan. Dan semakin menjustice entah kemenangan atau kekalahan terhadap kawasan yang dihubungkan dengan islam, akan menjadi bahan bahan bantahan yang mengalir secara natural. 







bagi pengalaman

berusaha belajar menulis dan membagikan kepada siapa saja dan cukup panggil nama ifoel atau bagi pengalaman

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama