Menghidupkan pengajian ibarat menghidupkan perusahaan,
bedanya perusahaan full material sedangkan pengajian full spiritual dengan
material sebagai support saja, dan ini tak bisa dipungkiri apalagi ada selisih
interval waktu 2 generasi. Kalau hanya temporer, pengajian berganti mubaligh
yang diundang itu masih sederhana, asal ada panitya pelaksana, dana support,
media pengumuman dan tempat baik rumah atau masjid, langsung bisa eksekusi.
Adapaun meneruskan majelis taklim, itu agak berbeda.
mereka doeloe anak anak nirbitan asuhan mbah abdusomad |
Mungkin seperti
kalangan kaum sarungan bahwa meneruskan perjuangan pendahulu, musti rajin
silaturahim dan berguru dengan kawan kawan pendahulu serta murid muridnya yang
masih ada (hidup). Jika ini terlampau, insya Alloh akan eksis dan aura
pendahulu akan bersinar kembali. Dan ini diantara uswah (contoh) yang dilakukan
mereka para sahabat nabi Muhammad SAW sepeninggal Beliau, mengingat masing
masing seperti ada kewajiban untuk meneruskan kepada calon penggantinya. Baik
keluarga sendiri atau kalangan lain.
Nabi Muhammad SAW – Umar Bin Khottob RA – Abdullah Bin Umar
(putra Umar RA) – Nafi’ (mantan hamba sahaya Abdullah Bin Umar RA). Ini contoh
periwayatan yang sering dijumpai dalam sebuah hadist, ternyata sehabis Abdulah
Bin Umar RA (sahabat muda yang berjumpa Nabi Muhammad SAW) menyerahkan
keilmuwannya kepada bekas hamba sahayanya sendiri. Imam Bukhori membukukan
dalam sahihnya dan hal demikian ada beberapa hadist. Kenapa hamba sahayanya
dibebaskan lalu dijadikan penerusnya, meski ada beberapa hadist yang tidak
lewat Nafi’. Diantara kolega Nafi’ yang hamba sahaya adalah Salim yang tadinya
milik Abu Khudzaifah RA. Dari Imam Nafi’, sebagian dikenal macam macam qiroat
yang berlaku untuk tilawatil Quran. Dengan demikian posisinya meningkat, dari
hamba sahaya menjadikan ulama (ahli dinul islam) yang menjadi rujukan imam imam
besar madzab. Tentang sosok Nafi' ini bisa simak : Nafi' Maula Ibnu Umar. Sedang Salim, adalah maula Abu Khudzaifah RA bisa simak : disini.
Dalam recording ini nampak, majelis yang konsepnya agak rileks ada suara anak anak yang mengikuti bacaa. Mereka termasuk anak anak yang rajin di masjid Al Huda. Ternyata ayahnya adalah putra dari alm. bapak Misri yang tak lain guru penulis saat belajar alif ba ta. Sedangkan alm. Misri sering mulazamah (membantu keperluan dan sesekali ikut pengajian alm. Mbah Abdussomad Nirbitan). Kesempatan ini sering kita ambil, yakni ayah anak anak itu yang bernama Agus untuk membantu pembacaan hadist bukhory yang berlangsung di masjid Al Huda tiap malam selasa usai sholat maghrib.
Beruntunglah memiliki majelis, yang sambung menyambung karena ibarat seperti rantai yang bertautan meski secara subtansi dan kualitas tidak seperti para pendahulu. Akan tetapi secara ruhhiyyah (spirit), sebagaimana sudah dituliskan di atas yang tersusun dari insan mulia hingga jatuh ke mantan seorang hamba sahaya. Sekarang hamba sahaya, sekedar bacaan saja, namun membaca ayat ayat atau hadist tentang hamba sahaya tetap sebuah kemulyaan, karena semuanya wahyu. Yang satu via Al Quran, satunya via sabda Nabi Muhammad SAW. Inilah yang mendasari tema Anak Anak Sebagai Mata Rantai Majelis, yang tak lain merekalah yang akan menjadi tulang punggung penerus ajaran dinul islam yang akan datang.
wallohu A'lam
Tags
edukasi